"Membangun dari Nol: Kisah di Balik Konstruksi" — Part 8: Menyatukan Dunia Nyata dan Dunia Maya
Pagi itu, Gato berdiri mematung di depan bangunan kecil yang dulunya hanya tempat menyimpan peralatan—bangunan sederhana dengan tembok belum diplester dan atap seng yang sudah mulai kusam. Kini, tempat itu akan ia sulap menjadi kantor operasional kecil untuk usahanya. Di dalamnya akan ada meja, kursi, komputer, printer, dan yang paling penting: koneksi internet stabil. Ia sadar, dunia bisnis saat ini tidak hanya berputar di dunia nyata, melainkan juga di dunia maya.
“Kalau kamu mau usaha ini tahan lama, kamu harus mulai masuk ke dunia digital,” kata Andi, sahabatnya, dua minggu sebelumnya. Gato hanya mengangguk waktu itu, belum sepenuhnya yakin bagaimana website dan media sosial bisa memengaruhi usaha jasa konstruksi seperti miliknya. Tapi setelah melihat dampak dari satu video proyek renovasi kecil yang Andi unggah ke TikTok dan Instagram, dengan caption singkat dan efek cepat, Gato mulai berpikir ulang. Video itu ditonton lebih dari lima ribu orang hanya dalam tiga hari. Tiga calon klien langsung menghubungi mereka melalui DM Instagram.
Sejak itulah Gato merasa perlu melangkah lebih jauh.
“Aku bantu, bro. Kita bangun website sederhana dulu. Yang penting bisa nunjukkin portofolio dan kontak. Abis itu, kita rajin posting dokumentasi proyek,” kata Andi sambil mengetik cepat di laptopnya.
Gato mengangguk pelan. “Tapi jangan terlalu mewah, ya. Aku belum banyak duit.”
Andi terkekeh. “Santai. Aku yang urus. Kamu fokus di lapangan.”
Dan begitulah semuanya dimulai.
Andi membuatkan website dengan nama yang sederhana: www.gatokonstruksi.com. Dalam waktu seminggu, domain itu sudah aktif dan mulai menampilkan profil singkat Gato, galeri hasil proyek, testimoni pelanggan, serta kontak WhatsApp yang langsung terhubung. Di bagian bawah situs, ada tombol menuju Instagram, TikTok, dan Facebook Page yang juga baru dibuat.
Hal pertama yang mereka lakukan setelah itu adalah membuat dokumentasi rapi dari semua proyek yang pernah dikerjakan, baik yang besar maupun kecil. Mulai dari renovasi atap rumah Pak Raji yang bocor, pembangunan gazebo di halaman belakang milik Bu Yuli, sampai pemasangan kanopi baja ringan di warung milik Mas Toni. Semuanya difoto dari berbagai sudut, kemudian diberi caption ringkas yang menjelaskan bahan, durasi kerja, dan hasil akhirnya.
“Yang penting bukan cuma bagus, tapi juga jujur,” ujar Andi. “Kalau ada bagian yang belum sempurna, tetap kita tampilkan, tapi kasih penjelasan. Orang sekarang itu suka keterbukaan.”
Gato mengangguk, perlahan mulai memahami pola pikir ini. Ia belajar bahwa dunia maya bukan tentang pencitraan palsu, tapi tentang membangun kepercayaan dari cerita nyata.
Mereka pun mulai konsisten posting. Tiga kali seminggu untuk Instagram dan TikTok, dua kali seminggu untuk Facebook. Caption-nya pun tak muluk-muluk. Misalnya:
“Pagi-pagi pasang baja ringan di rumah Bu Tatik. Matahari belum tinggi, tapi semangat sudah membara.”
Atau:
“Tantangan hari ini: jalan masuk sempit, alat nggak bisa parkir. Tapi kita tetap cari solusi.”
Postingan-postingan semacam itu ternyata mengundang banyak perhatian. Beberapa komentar mulai berdatangan: “Wah, timnya kompak ya!”, “Itu atapnya merk apa, Mas?”, “Bisa pasang di daerah Krian nggak?”
Gato terkejut. Dulu, untuk mendapatkan satu klien saja, ia harus keliling dari satu RT ke RT lain, menitip brosur ke warung, dan meminta kenalan untuk menyebarkan info. Sekarang, klien datang sendiri, bertanya melalui pesan di Instagram atau WhatsApp. Bahkan, ada yang langsung menelpon setelah melihat satu video progres pembangunan rumah kecil yang hanya berdurasi 35 detik.
Namun, seiring bertambahnya perhatian, bertambah pula beban tanggung jawab.
“Gat, kita mesti lebih rapi dari sekarang,” kata Andi serius pada suatu malam.
“Rapi gimana?”
“Dokumentasi. Kontrak kerja. Estimasi biaya. Kalau semua masih kamu simpan di kepala atau ditulis di kertas yang entah di mana, kita bakal kelimpungan.”
Gato terdiam. Ia memang belum terbiasa dengan hal-hal administratif. Selama ini, semuanya ia tangani dengan sistem ‘ingatan dan kepercayaan’. Tapi kini, dengan semakin banyak proyek, risiko salah hitung dan salah paham makin besar.
Akhirnya, Andi membuatkan formulir digital untuk setiap klien. Isinya sederhana: data klien, jenis proyek, perkiraan biaya dan durasi kerja, serta kolom tanda tangan digital. File itu disimpan otomatis di Google Drive, bisa diakses kapan saja.
Tak hanya itu, Andi juga membuatkan Google Calendar yang terhubung dengan jadwal proyek-proyek mereka. Dengan begitu, Gato bisa melihat timeline kerja tanpa perlu membuka catatan kertas atau menelpon anak buah satu per satu.
Dalam dua bulan, sistem digital kecil ini membuat hidup Gato jauh lebih teratur.
Namun tetap saja, ada tantangan lain yang tak bisa diselesaikan hanya dengan aplikasi dan koneksi internet: mental tim di lapangan.
Salah satu anak buahnya, Darman, mulai merasa tidak nyaman dengan semua dokumentasi video dan foto.
“Mas Gato, saya ini tukang, bukan artis,” ucap Darman dengan nada setengah bercanda.
Gato tersenyum. “Aku ngerti, Man. Tapi sekarang zamannya beda. Orang-orang pengen lihat proses, bukan cuma hasil akhir. Mereka pengen tahu, siapa yang kerja, gimana cara kerjanya, dan bisa dipercaya apa nggak.”
Darman mengangguk, meski masih tampak canggung setiap kali kamera diarahkan padanya.
Untuk mengatasi hal itu, Gato dan Andi berinisiatif mengadakan pertemuan kecil setiap dua minggu dengan tim lapangan. Dalam pertemuan itu, mereka membahas progres proyek, kendala yang dihadapi, serta pentingnya dokumentasi untuk masa depan usaha. Perlahan-lahan, tim mulai memahami dan bahkan mulai terbiasa. Beberapa bahkan mulai tertarik belajar mengambil gambar yang bagus dari ponsel mereka sendiri.
“Mas, aku ada video pas kita angkat rangka baja kemarin. Mau tak kirim?”
Gato tersenyum menerima pesan itu dari Ari, salah satu pekerja baru. “Mantap, Ri. Kirim aja. Nanti kita post bareng.”
Lambat laun, dunia nyata dan dunia maya mulai menyatu dalam langkah usaha mereka. Proyek demi proyek diselesaikan bukan hanya dengan tangan-tangan terampil, tapi juga dengan narasi yang dibagikan ke khalayak. Di dunia maya, mereka bukan sekadar tim konstruksi, tapi pembawa kisah—kisah tentang kerja keras, ketekunan, dan membangun dari nol.
Pada suatu malam, Gato duduk di depan komputer sambil menatap laporan pengunjung website yang dibuatkan Andi. Angka yang muncul di layar membuatnya terdiam. Tiga ratus lima puluh pengunjung dalam satu hari. Lima permintaan penawaran masuk. Dua calon klien sudah konfirmasi untuk survei lapangan minggu depan.
Ia menoleh ke arah rak kecil tempat Pak Iwan menyimpan map-map proposal dulu. Kini, semuanya terasa jauh berbeda. Dulu, ia hanya memikirkan satu hal: bagaimana caranya proyek berikutnya bisa dapat. Sekarang, ia mulai berpikir lebih panjang—tentang sistem, tentang kualitas, tentang reputasi, bahkan tentang regenerasi.
Sebelum tidur malam itu, Gato menuliskan satu kalimat besar di papan tulis kecil di kantor mungilnya:
“Kepercayaan dibangun dari cerita, bukan hanya hasil.”
Dan itulah yang ia pegang sejak hari itu—bahwa setiap paku yang dipasang, setiap bata yang disusun, dan setiap atap yang dinaungi, akan menjadi bagian dari kisah besar bernama perjuangan. Dan kisah itu harus dibagikan, supaya dunia tahu, bahwa membangun dari nol adalah pekerjaan yang suci dan layak dihargai.
Part 9, Mulai merekrut admin & membangun struktur organisasi kecil