"Membangun dari Nol: Kisah di Balik Konstruksi" — Part 9: Mendirikan Pondasi Organisasi
Pagi belum genap merekah sempurna ketika Gato sudah duduk di teras kantor kecilnya, menyeduh kopi tubruk yang ia seduh sendiri. Di depannya, beberapa kertas hasil print-out tergeletak: proposal proyek, penawaran harga, bahkan CV singkat dari beberapa orang yang baru saja melamar. Di sisi layar laptopnya, dashboard website www.jayasteel.com menampilkan notifikasi masuk: dua permintaan survei lokasi baru dari perumahan di kawasan Waru dan Sedati.
Gato menarik napas panjang. Usaha yang dulu hanya berputar di kepalanya dan tangan kasarnya kini mulai menuntut struktur—bukan sekadar kerja keras. Ia sudah tidak bisa mengandalkan ingatan dan tenaga semata. Timnya yang semula hanya berisi empat orang, kini berjumlah sepuluh, belum termasuk pekerja harian yang terus bertambah tergantung jumlah proyek.
Andi yang belakangan menjadi semacam "co-founder tanpa gelar", duduk di sampingnya, memegang tablet sambil mengatur konten media sosial dan mengecek komentar-komentar yang terus berdatangan. Video pemasangan baja ringan dua hari lalu ternyata viral di TikTok. Tembus seratus ribu penonton.
"Kamu harus mulai rekrut orang, Gat," ujar Andi pelan, tapi mantap. "Minimal admin. Kamu enggak bisa lagi pegang semua WA, urus invoice, beli bahan, dan tetap pasang atap."
Gato tidak langsung menjawab. Ia menyesap kopinya, memikirkan beban kepercayaan yang ia emban. Modal dari Pak Iwan bukan main-main. Bukan cuma soal uang, tapi juga amanah syirkah yang penuh keberkahan bila dijaga dengan jujur dan sistematis.
"Aku takut gajinya enggak kebayar kalau nanti sepi proyek," jawabnya lirih.
Andi menggeleng pelan. "Kalau kamu nunggu semuanya ideal, kamu enggak akan pernah maju. Mulai dari satu. Bayar sesuai kemampuan, jelas di depan. Tapi kamu harus ada orang yang bantu ngatur. Nggak usah sempurna dulu."
Saran itu seperti siraman air di tanah kering. Gato pun mulai bergerak.
Ia memasang pengumuman sederhana di Instagram dan Facebook: Dibutuhkan satu admin freelance, bisa kerja dari rumah, bantu rekap, balas pesan, dan bikin laporan harian. Diutamakan yang teliti dan paham dasar-dasar spreadsheet.
Tak butuh waktu lama, DM mulai masuk. Dari mahasiswa yang sedang libur kuliah, ibu rumah tangga yang pernah kerja di toko bahan bangunan, sampai bekas admin proyek di perusahaan kontraktor yang sekarang sedang menganggur.
Akhirnya, Gato memilih Dila—seorang perempuan muda lulusan SMK akuntansi, tinggal tak jauh dari lokasi kantor. Dila ramah, cepat paham, dan yang paling penting: telaten.
Hari pertama Dila datang ke kantor Jayasteel, ia membawa map besar berisi contoh format laporan, beberapa ide sistem pencatatan, dan daftar pertanyaan untuk memahami alur kerja.
"Mas Gato, sekarang masih pakai nota tulis tangan, ya?"
"Iya. Tapi capek juga sih nyari nota yang hilang pas mau rekap."
Dila tertawa kecil. "Kita ubah pelan-pelan, ya. Saya bantu buatkan template digital. Nanti bisa diakses dari HP Mas juga."
Dari situlah perubahan itu dimulai. Dalam waktu sebulan, Dila menciptakan sistem sederhana berbasis Google Sheet. Setiap proyek punya folder, isinya mulai dari daftar kebutuhan bahan, catatan pembelian, hingga rekapan jam kerja tukang. Semua bisa dilihat langsung oleh Gato lewat HP.
"Kalau mau tahu biaya total proyek Pak Arif, tinggal buka foldernya, Mas," kata Dila sambil memperlihatkan contoh di layar.
Gato mengangguk puas. Untuk pertama kalinya, ia merasa seperti benar-benar menjadi pemimpin usaha, bukan hanya tukang yang kebanjiran kerjaan.
Di sisi lain, Andi terus mendorong penguatan identitas digital mereka. Ia mengganti logo Jayasteel, membuat desain seragam kerja dengan nama dan logo tercetak di dada kiri, dan mendesain ulang halaman depan situs www.jayasteel.com.
“Kita bikin orang percaya sejak pertama kali lihat,” kata Andi saat memperlihatkan mockup baru website itu. “Bikin mereka merasa: ‘ini bukan cuma tukang biasa, ini perusahaan yang serius’.”
Gato terdiam sesaat. Ia tak pernah membayangkan usahanya akan sejauh ini. Dulu ia hanya ingin bisa kerja sendiri, tak tergantung pada pabrik yang bisa PHK sewaktu-waktu. Sekarang, ia mengelola orang, membangun struktur, dan memikirkan jangka panjang.
Minggu berikutnya, ia mengumpulkan seluruh tim lapangan—12 orang tukang, termasuk yang baru bergabung minggu lalu. Pertemuan kecil diadakan di halaman belakang kantor, ditemani nasi bungkus dan teh hangat.
“Saya tahu, dulu kita kerja semaunya. Tapi sekarang kita berkembang. Saya butuh kalian tetap semangat, tapi juga lebih teratur,” ujar Gato dengan nada tulus.
Ia memperkenalkan Dila sebagai admin baru, lalu memaparkan sistem kerja yang mulai ditata.
“Setiap pagi kita absen di grup. Dila yang rekap. Bahan-bahan nggak boleh keluar tanpa dicatat. Dan mulai sekarang, kita punya target progres harian per proyek.”
Beberapa tampak mengangguk mantap. Yang lain masih tampak ragu. Gato paham, perubahan tidak mudah. Tapi ia tak punya pilihan selain melangkah.
Ia menambahkan, “Kita bukan cuma tukang. Kita ini tim pembangunan. Orang percaya rumahnya ke kita. Kita harus jaga kepercayaan itu.”
Sore hari itu ditutup dengan saling jabat tangan, tawa ringan, dan janji-janji baru yang perlahan membangun budaya kerja. Tidak semuanya akan langsung sempurna, Gato tahu. Tapi ia juga tahu, tidak ada bangunan besar yang selesai dalam sehari. Bahkan pondasinya saja butuh kesabaran dan ketelitian.
Malamnya, Gato duduk kembali di depan laptop, membuka dashboard Jayasteel.com. Kini, halaman Tentang Kami tak lagi hanya memuat profil singkat dirinya, tapi juga nama-nama anggota tim: Andi sebagai pengelola digital, Dila sebagai admin, dan tim lapangan lengkap dengan foto saat mereka bekerja.
Ia membaca satu pesan masuk dari pengunjung website:
“Saya suka cara Mas Gato dan tim kerja. Ada transparansi, ada kehangatan. Saya ingin bangun rumah kecil di tanah warisan. Bisa survei, ya?”
Gato tersenyum. Ia membalas sendiri pesan itu, dengan kalimat khasnya:
“Dengan senang hati, Bu. Kami akan bantu wujudkan rumah yang Bapak/Ibu impikan.”
Malam itu, lampu di kantor kecil Jayasteel masih menyala hingga lewat pukul sebelas. Di luar, suara jangkrik dan desiran angin malam menyanyikan irama sunyi yang menenangkan. Tapi di dalam kepala Gato, pondasi-pondasi organisasi terus disusun. Perlahan, namun pasti.
Dan seperti setiap bangunan yang ia kerjakan, ia tahu, yang terpenting bukan hanya hasil akhirnya—tetapi cara membangunnya.
Part 10 "Menguji Ketahanan di Proyek Pertama yang Besar"